-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Senin, 21 Desember 2009

Harusnya Membawa Isu Kemiskinan dan Pemberdayaan

Tabrani Abby
Wakil Ketua II Bidang Internal YLBHI

Rancangan revisi UUPZ meski sudah hampir lebih dari setahun bergulir tetapi, menurut pengamatan Tabrani Abby, belum banyak mengalami kemajuan yang berarti. Karena, Wakil Ketua II Bidang Internal YLBHI ini menyoroti, bahwa lambatnya perkembangan ini disebabkan karena terus menerus berkutat dengan isu penutupan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang didirikan masyarakat. Memang diakui, perjalanan RUU Zakat sendiri pada periode sebelumnya, yakni 2004-2009 sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tapi nyatanya masih belum bergerak sama sekali. “Saat ini (DPR Periode 2009-2014, red) juga masuk Prolegnas Prioritas, tetapi belum tentu pembahasannya akan selasai pada di tahun 2010,” tandas Abby dalam sebuah diskusi di Jakarta. Karena, menurutnya, saat ini ada banyak agenda RUU lain yang akan dijadikan DPR sebagai RUU prioritas juga. Dalam kaitannya dengan draft revisi UUPZ, pemerintah sendiri tampaknya hingga kini belum tuntas dalam menyusun rancangan tersebut.

Sejauh ini, Abby menduga, ada beberapa hal yang terkait dengan revisi UUPZ yang menjadi dasar pemikiran pemerintah melakukan sentralisasi pengelolaan zakat yang akan diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah. Pertama, adanya ketidakpercayaan pemerintah terhadap LAZ atau gerakan masyarakat yang selama berperan mengelola zakat. Zakat adalah dana yang diperoleh dari publik maka akuntabilitas harus dikedepankan. “Nah, pemerintah belum melihat LAZ bisa melakukan hal ini,” ujarnya. Sebab pengelola zakat selama ini berasal dari basis masyarakat yang sangat beragam. Ada yang berbasis ormas, masjid, pesantren bahkan ada yang hanya menggunakan momentum secara sporadis, dadakan, dengan manajemen yang beragam.

Kedua, lembaga pengelola sangat beragam. Dan secara kuantitas terus meningkat jumlahnya. Masyarakat masih cenderung melirik dan tertarik untuk mendirikan lembaga zakat yang baru. Kondisi ini bisa membuka ruang penyimpangan. Ketiga, upaya pengentasan kemiskinan melalui donasi zakat ternyata belum mendapatkan hasil guna yang signifikan, kaum miskin belum banyak yang terbantu. Lembaga zakat pun belum mampu menunjukkan bukti konkret atas kerja-kerja mereka selama ini.

Meskipun dalam kondisi yang demikian, campur tangan pemerintah, menurut Abby, juga tidak menjamin adanya kemajuan yang berarti. Sebab fakta mengatakan masih banyak persoalan yang tidak bisa dituntaskan oleh pemerintah secara menyeluruh, seperti masalah pendidikan, pertanahan dan sebagainya.

YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang selama ini concern terhadap dunia adokasi berharap LAZ yang sekarang tengah gelisah dalam menghadapi rencana pembubaran oleh pemerintah, harus menentukan terlebih dulu apa isu besar yang akan dibawa untuk menyambut memontum amandemen UUPZ yang tengah berkembang di masyarakat. Hal itu menjadi penting ketika kelak melakukan lobi kepada DPR. “Jangan hanya berputar-putar pada desentralisasi dan pembubaran LAZ saja,” ujar Abby. Sebab realitasnya banyak juga LAZ yang dianggap kurang akuntabel. Sebaiknya isu besar yang dibawa oleh komunitas lembaga zakat adalah isu pemberdayaan dan pemberantasan kemiskinan. Bukan semata isu pembubaran LAZ. Karena, jika hanya isu pembubaran LAZ, maka lingkupnya sangat kecil.

“Kami mendorong isu yang akan dibawa oleh LAZ lebih dari itu (pembubaran LAZ, red) yaitu agar partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dalam upaya pembangunan masyarakat,” katanya. Jika menggunakan kacamata ini ide pemerintah tentang pembubaran LAZ akan terasa janggal mengingat situasi demografi negara ini sangat besar, belum lagi sebaran masyarakat miskin yang sangat luas. Masalah pemberdayaan dan lain-lain. “Tidak mungkin persoalan kemiskinan ditangani sendiri oleh pemerintah,” tambahnya. Contoh konkret selama 40 tahun lebih tidak ada peran pemerintah dalam melakukan bantuan hukum, inisiatif lebih banyak dilakukan oleh masyarakat sendiri. Maka ketika ada RUU Bantuan Hukum yang banyak terlibat adalah organisasi seperti LBH, YLBHI dan sejenisnya.

Hal ini tampaknya berbeda dengan apa yang terjadi dalam RUU Zakat. Dalam pembahasan oleh pemerintah, Forum Zakat (FOZ) dan LAZ yang telah lama konsen justu tidak dilibatkan oleh Departemen Agama bahkan terkesan sembunyi-sembunyi. Padahal umumnya sebelum penyusunan draft semestinya departemen bersangkutan menyebarkan informasi kepada masyarakat luas baik melalui seminar, media, maupun dunia maya. “Sikap seperti ini memang sah-sah saja, tetapi melanggar etika keterbukaan,” kata Abby.

Ke depan mestinya LAZ juga membuat position paper yang akan diajukan kepada pihak DPR sebagai bahan melakukan advokasi terhadap usulan pemerintah. Di situ diharapkan bisa tertuang adanya persamaan persepsi di kalangan LAZ yang hingga kini juga masih terdapat perbedaan karena menggunakan kacamata fikih yang berbeda-beda. Hal yang tak kalah penting adalah melakukan kajian terhadap akuntablitas, keterbukaan informasi, pertanggungjawaban pengelolaan, benefit bagi masyarakat yang selama ini dilakukan oleh LAZ dan BAZ agar kelak memperoleh ‘alat bukti’ sejauh mana sebetulnya manfaat dan efektifitas ide sentralisasi pengelolaan zakat. [m/n]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar