-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Senin, 07 Desember 2009

Tinjauan kritis penghapusan LAZ oleh pemerintah

Pengantar
Saat ini pemerintah betul-betul sangat serius mengupayakan terwujudnya keinginan untuk menghapuskan peran Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sejak UU Nomor 38 Tahun 1999 disahkan, sebagian kalangan pejabat dan pegawai Departemen Agama (Depag) begitu masygul atas pengesahan UU pengelolaan zakat tersebut.

Mereka kecewa karena akhirnya UU pengelolaan zakat itu mengakomodir keberadaan LAZ sebagai Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang dibentuk oleh masyarakat. Orang-orang ini berharap bahwa yang diperkenankan untuk melakukan pengelolaan zakat hanya OPZ yang dibentuk pemerintah saja, yang dalam UU pengelolaan zakat disebut dengan Badan Amil Zakat (BAZ).

Maka meskipun mereka menerima dan berusaha melaksanakan UU Nomor 38 Tahun 1999, akan tetapi secara diam-diam sebagian pejabat dan pegawai yang kecewa ini berusaha untuk terus mempersoalkan isi UU Nomor 38 Tahun 1999 dan berusaha membelokkan isi UU yang terkait dengan LAZ tersebut agar tidak terlaksana dengan baik melalui berbagai cara, termasuk melalui “penyimpangan” isi regulasi turunan dari UU-nya yang seharusnya menjadi rujukan dan dasar pijakan.

Dan ketika setelah hampir sepuluh tahun berlakunya UU tersebut, terlebih setelah masyarakat juga merasakan ada yang perlu disempurnakan dari UU Nomor 38 Tahun 1999 yang memunculkan wacana amendemen UU pengelolaan zakat di tengah masyarakat, khususnya di kalangan praktisi zakat, maka sebagian pejabat dan pegawai Depag yang kemudian bergerak secara formal atas nama Depag ini seolah-olah mendapatkan momentum lagi untuk mengembalikan pengaturan zakat pada kondisi yang diinginkannya, yaitu meniadakan peran LAZ dalam pengelolaan zakat di Indonesia.

Mereka, dengan persiapan yang lebih matang dan kekuatan penuh, melakukan berbagai langkah dalam rangka mencapai tujuannya, yakni menyampaikan pandangan negatif tentang LAZ dan mengembangkan opini bahwa keberadaan LAZ menimbulkan banyak masalah dan oleh karenanya perlu ditutup.

Memasuki masa persidangan anggota DPR RI periode 2009-2014 ini, UU Pengelolaan Zakat telah dimasukkan oleh Baleg DPR RI sebagai salah satu RUU yang akan dibahas oleh DPR pada periode 2009 -2014. Beberapa landasan yang mendasari keinginan merevisi UU tersebut di antaranya adalah: (1) penerapan sanksi atas muzakki yang ingkar membayar zakat; (2) pelaksanaan zakat sebagai pengurang pajak; dan (3) perlunya penataan kelembagaan zakat, khususnya perwujudan dan pengaturan yang jelas atas fungsi regulator, operator dan pengawas secara benar.

Dalam kaitan dengan penataan kelembagaan zakat inilah pihak Depag berkeinginan untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZ yang memiliki cabang dari pusat sampai tingkat kelurahan/desa. Dalam kerangka sentralisasi pengelolaan zakat inilah LAZ akan dihapuskan.

Berikut ini akan dipaparkan ulasan, tinjauan kritis dan tanggapan atas berbagai pandangan dan alasan yang sering dikembangkan oleh sebagian pejabat dan pegawai Depag yang menjadi dasar rencana penghapusan LAZ dalam pengelolaan zakat di Indonesia.
Aspek Historis
Kalau kita merujuk kepada sejarah dan perkembangan zakat di Indonesia, maka kita akan mendapati bahwa pada awalnya pengamalan zakat masyarakat muslim Indonesia dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik atau melalui kyai, ajengan, masjid atau pesantren. Melalui SKB Menteri Agama dan Mendagri diatur mengenai pengelolaan zakat di8 Indonesia, maka berdasarkan SK Gubernur DKI pada tahun 1968 untuk pertama kalinya berdiri BAZIS DKI yang kemudian diikuti oleh pendirian BAZIS di berbagai propinsi lainnya. Masyarakat melalui berbagai organisasi keagamaan juga terlibat mengelola zakat secara terorganisasi.

Berdirinya BAMUIS BNI pada tahun 1968, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) pada tahun 1987 dan Dompet Dhuafa Republika pada tahun 1993 adalah beberapa lembaga amil zakat yang didirikan oleh masyarakat yang kemudian menjadi lembaga pengelola zakat yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Keberhasilan beberapa lembaga pengelola zakat dari masyarakat ini mendorong tumbuh dan menjamurnya lembaga pengelola zakat bentukan masyarakat.

Pada tahun 1999 lahir UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang di dalamnya menyebutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat. Tentu saja semua LAZ harus dikukuhkan oleh pemerintah dan harus memenuhi berbagai persyaratan termasuk kesediaan untuk berkoordinasi dengan BAZ.

Jadi kalau ada sementara kalangan yang mengklaim bahwa secara historis di Indonesia, BAZ lebih berhak mengelola zakat karena lebih dahulu, maka melalui pengungkapan sejarah yang benar terbukti bahwa sejak awal pengelolaan zakat oleh pemerintah dan masyarakat senantiasa beriringan.

Bahkan kalau kita mau mengambil sejarah sejak zaman kolonial dan kemerdekaan, maka pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masyarakatlah yang justru lebih awal berkembang di Indonesia. Karena pada zaman penjajahan praktis tidak ada pengelolaan zakat secara formal oleh pemerintah. Justru masyarakatlah yang melalui berbagai ormas Islam, institusi keagamaan (seperti masjid, pesantren dan madrasah) dan individu terpercaya (Kyai, ustad dan ajengan) yang telah melakukan pengelolaan zakat baik secara perorangan, kelompok maupun dalam organisasi.

Aspek Syariah
Sebagaimana telah kita pahami, bahwa berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam otentik, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah serta praktek kehidupan para sahabat dan penerus risalah Islam di masa lalu, Zakat adalah kewajiban Fardhiah bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratan tertentu. Zakat juga diperintahkan untuk “diambil” dari orang-orang kaya dan diancam sanksi bila kaum kaya menolak untuk memenuhinya.

Para Ulama salaf telah sepakat bahwa zakat adalah obligatory system dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa zakat adalah domain negara, yaitu bahwa zakat adalah diurus atau diatur oleh negara.

Meskipun zakat diurus dan diatur oleh negara, para ulama juga berpendapat bahwa dalam pelaksanaanya, negara dapat mengelola langsung sendiri atau menunjuk (memberikan mandat) kepada badan, organisasi atau sekelompok orang di dalam negara tersebut untuk melaksanakan tugas pengurusan zakat. Pengangkatan petugas pengurusan zakat ini tentu saja ditata oleh suatu pengaturan dan sewaktu-waktu dapat dicabut apabila sudah tidak memenuhi persyaratan atau menyimpang dari amanah yang diembannya.

Dalam kerangka ini, maka sudah tidak relevan lagi sesungguhnya memperdebatkan tentang apakah keberadaan LAZ itu sesuai syariah (landasan keagamaan) atau tidak. Karena LAZ di Indonesia dikukuhkan dan diakreditasi oleh pemerintah. Jadi sesungguhnya keberadaan LAZ saat ini adalah atas mandat atau penunjukkan oleh pemerintah.

Sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 yang menyebutkan:

“Lembaga Amil Zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.” (pasal 7 ayat 1)

“Dalam melaksanakan tugasnya, BAZ dan LAZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai tingkatannya” (pasal. 9)

Tentu saja, selain LAZ yang sudah legal (dikukuhkan) oleh pemerintah masih ada LAZ yang belum mendapatkan pengukuhan dari pemerintah, dalam konteks ini, maka LAZ yang belum dikukuhkan itu dapat dipandang sebagai LAZ yang “masih liar”. Di sinilah perlunya pembinaan dan pengawasan sehingga tidak muncul LAZ-LAZ yang tidak memenuhi persyaratan legal.
Aspek Manajemen
Kita di Indonesia memang masih menghadapi serangkaian masalah dalam mencapai idealita penataan zakat di Indonesia. Pertumbuhan LAZ yang bagai cendawan di musim hujan, jika tidak ditata dengan baik tentu saja memiliki potensi masalah. Ada sebagian LAZ yang saat ini melakukan pengelolaan zakat tanpa merasa bahwa pengelolaan zakat haruslah memenuhi berbagai persyaratan dan ketentuan, baik dari sisi syariah maupun legal. Mereka pun kadang kala melakukan pengelolaan dengan serampangan tanpa didukung oleh basis manajemen zakat yang memadai. Hasilnya tentu saja pengelolaan yang tidak perform, yang berujung kekecewaan sebagian masyarakat donatur.

Adapula LAZ yang kadang sulit diatur. Mereka ini tidak mau dikoordinasikan dan disinergikan. Maunya mengelola zakat sendiri-sendiri. Sebagian LAZ ini begitu bersemangat untuk mengkampanyekan zakat. Terkadang memberi kesan persaingan yang begitu keras di antara berbagai OPZ. Mereka juga tidak mau melaporkan kegiatannya kepada otoritas pembinaan zakat di Indonesia, yaitu pemerintah. Padahal jelas-jelas ditegaskan bahwa LAZ itu bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai tingkatannya.

Untuk mendukung perwujudan pangkalan data (data base) zakat Indonesia saja, mereka ini tidak mau terlibat dan menghindar. Tentu saja LAZ dengan model seperti ini perlu ditangani untuk perbaikan kondisi zakat di Indonesia.

Selain Pada LAZ, BAZ juga punya masalah tersendiri. Misalnya, ada BAZ yang tidak mau melaporkan kegiatannya kepada masyarakat. Jangankan untuk diaudit oleh akuntan publik, untuk mempublikasikan laporan keuangan saja, mereka tidak mau. Ada juga BAZ yang inginnya duduk ongkang-ongkang kaki, terus uang zakat mengalir sendiri ke pundi-pundinya. Menurut mereka, masyarakat harus dipaksa untuk membayar zakat, dengan alasan bahwa zakat adalah kewajiban setiap muslim. Untuk melakukan penggalangan dana aktif dan sedikit bersaing dengan lembaga zakat lain saja tidak siap. Sedikit-sedikit, menyalahkan LAZ sebagai pesaing dalam pengumpulan zakat.

Tentu saja, ada juga BAZ yang kinerjanya sangat bagus. Mereka mampu menampilkan kinerja sebagai BAZ yang amanah dan profesional. BAZ seperti ini sangat dipercaya oleh para muzakkinya. Sebagaimana juga BAZ, banyak juga LAZ yang telah menunjukkan kinerja amanah dan professional. Dan sebagian LAZ ini senantiasa bersedia mempertanggung jawabkan kegiatannya kepada pemerintah. Mereka juga senantiasa terbuka dan bersedia untuk dikoordinasikan dan disinergikan dengan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) lainnya dalam rangka mewujudkan kebersamaan zakat Indonesia.

Karena itu, sangat tidak tepat jika, adanya persoalan manajemen seperti di atas, dijadikan dasar untuk menghapuskan LAZ. Adanya sebagian LAZ yang buruk, tentu saja tidak boleh dijadikan dasar untuk menghapus semua LAZ. Sebagaimana adanya BAZ yang buruk, juga tidak boleh menjadi dasar menghapus semua BAZ. Karena sesungguhnya yang terpenting adalah harus ada komitmen, kesungguhan dan keterbukaan yang terus menerus dalam rangka menata zakat Indonesia ini, termasuk di dalamnya komitmen mengawasai dan memperbaiki kinerja semua OPZ. Bila itu terus dilakukan, maka masalah-masalah manajemen seperti di atas, bisa diatasi.

Masalah dan Solusi
Jika kita hendak mengurai, masalah utama apa saja sesungguhnya yang menggayuti perzakatan di Indonesia, maka kita dapat menyebutkan antara lain adalah: (1) masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang jenis harta yang dikenai zakat (objek zakat); (2) masih sangat banyak masyarakat yang belum membayarkan zakat melalui lembaga; (3) masih banyak masyarakat yang belum percaya kepada pengelola zakat; (4) masih banyak potensi zakat yang belum termobilisasi atau teroptimalkan; (5) masih banyak pengelola zakat yang belum menampilkan kinerja yang amanah dan profesional; (6) belum efektifnya fungsi regulasi, koordinasi, sinergi dan pengawasan OPZ; (7) belum ada standar manajemen OPZ, sebagai panduan pengelolaan sekaligus sebagai acuan pengawasan; (8) zakat belum menjadi pengurang pajak; dan (9) zakat belum signifikan dalam membantu masyarakat miskin, sehingga memberi dampak dalam pengentasan kemiskinan.

Seharusnya kita semua, termasuk pemerintah lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan zakat dibandingkan terus menerus memunculkan polemik dan gagasan yang belum bisa dijamin juga akan menyelesaikan persoalan zakat di Indonesia. Pilihan gagasan sentralisasi beserta penghapusan LAZ tidaklah serta merta akan mampu menjawab semua persoalan zakat Indonesia, karena sentralisasi bukanlah obat satu-satunya dalam menyelesaikan persoalan zakat tersebut. Keterkaitan antara masalah perzakatan di Indonesia dengan sentralisasi sebagai solusi hanyalah sebagian kecil saja. Alih-alih menyelesaikan masalah, malah sebaliknya memunculkan masalah baru yang juga memerlukan energi dan konsentrasi yang sangat besar untuk menyelesaikannya.

Seluruh komponen pengelola zakat di Indonesia melalui organisasi asosiasinya, yaitu Forum Zakat (FOZ) telah dengan susah payah menyusun cetak biru zakat Indonesia. Di mana di dalamnya disebutkan tahapan penataan zakat di Indonesia. Bahwa pada masa sekarang ini (sekurang-kurangnya sampai periode tahun 2015) adalah tahapan menyiapkan kerangka landasan menuju integrasi zakat nasional.

Integrasi zakat nasional adalah sebuah sistem pengelolaan zakat dimana BAZ dan LAZ terkoordinir secara rapi di bawah payung lembaga regulator dan pengawas yang kredibel, sekaligus dikoordinasikan secara sinergis melalui berbagai pengaturan dan kebijakan. Sebagaimana di dunia perbankan ada bank pemerintah dan bank swasta atau di dunia pendidikan ada perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta, maka keberadaan BAZ dan LAZ pada ranah pengelolaan zakat juga semestinya bisa diwujudkan.

Jadi bukanlah mimpi apabila di Indonesia ini kita menerapkan sistem integrasi zakat nasional yang kokoh dengan tulang punggung penyangganya adalah BAZ dan LAZ.

Oleh karena itu, marilah kita lebih berkonsentrasi pada fokus prioritas kita semua saat ini yaitu memperbaiki kualitas amil zakat (baik individu perorangan maupun organisasinya) dan membuat berbagai standar manajemen untuk panduan pengelolaan dan pengawasan kinerja OPZ, sekaligus melakukan kerjasama, sinergi dan aliansi dalam rangka mencapai integrasi zakat nasional yang sebaik-baiknya. Semoga kita semua tetap berkomitmen dan bekerja sepenuh hati dalam memperbaiki perzakatan di Indonesia. Wallahu A'lam!

Ahmad Juwaini (Ketua Umum Forum Zakat Nasional)
diupload dari
www.primaironline.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar