-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Senin, 15 Desember 2008

Menanti Wajah Baru UU Zakat

Noor Aflah*
Rapat Pleno Baleg (Badan Legislatif) DPR RI, Kamis (27/11) menyepakati satu RUU baru masuk ke Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2008-2009 dengan nomor 29, yaitu RUU Zakat. Dengan demikian RUU ini akan dibahas DPR mulai masa sidang 24 November – 19 Desember 2009.

RUU ini sangat penting dibahas mengingat banyaknya permasalahan terkait pengelolaan zakat yang perlu diselesaikan di negeri ini. RUU Zakat ini disusun dengan tujuan, pertama, meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat berdasarkan syariat Islam, kedua meningkatkan efektivitas pengelolaan zakat, baik dalam pengumpulan, pendistribusian, maupun pendayagunaan zakat ; ketiga, meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia.

RUU ini nantinya dimaksudkan untuk menggantikan Undang Undang No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang dianggap mempunyai banyak kelemahan. Apa saja kelemahannya ? Kelemahannya adalah ;
Pertama, soal kelembagaan. Di dalam UU No. 38 tahun 1999 belum ada kejelasan fungsi siapa sebagai regulator, siapa pengawas dan siapa operator. Keberadan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Laznas (Lembaga Amil Zakat Nasional), LAZ (Lembaga Amil Zakat) dan Bazda (Badan Amil Zakat Daerah) semuanya berfungsi sebagai operator. Sementara regulatornya belum ada. Keberadaan Depag tak mampu memainkan perannya sebagai regulator maupun pengawas.

Kedua, belum adanya strategic plaining secara nasional, baik penghimpunan maupun pendayagunaan. Akibatnya masih terjadi irisan wilayah penghimpunan. Satu wilayah bisa menjadi sasaran penghimpunan bagi beberapa lembaga zakat. Sehingga mengakibatkan pendistribusian zakat tidak merata.

Ketiga, soal mekanisme pelaporan. Sampai sekarang belum ada mekanisme pelaporan yang jelas kepada siapa lembaga / badan amil zakat memberikan laporannya. Keempat, hubungan zakat dengan pajak. Di dalam UU No.38 disebutkan zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (PPKP). Namun dalam prakteknya belum berjalan dengan baik.
Kelima, mengenai sanksi. UU Pengelolaan Zakat yang ada baru mengatur sanksi bagi pengelola (amil). Sementara sanksi bagi muzaki belum ada. Padahal sebuah UU akan memiliki daya paksa yang kuat jika disertai dengan sanksi.
Melihat banyaknya kelemahan yang ada pada UU No. 38 tahun 1999 maka sudah seharusnya UU tersebut diganti dengan UU yang baru. Dan UU yang baru nanti harus bisa menjawab permasalah-permasalahan di atas.
Dalam hal ini penulis mencoba memberikan masukan untuk RUU Zakat, sebagai jawaban dari permasalahan di atas.

Soal Kelembagaan
Keberadaan BAZ (Badan Amil Zakat) mulai tingkat nasional sampai kabupaten, dan (LAZ) Lembaga Amil Zakat baik nasional maupun daerah saat ini berjalan sendiri-sendiri. Di antara mereka tidak ada kordinasi, baik dalam hal pengumpulan maupun penyaluran. Ini menunjukkan masih adanya tumpang tindih kelembagaan. Saat ini juga belum ada badan yang berfungsi sebagai pengawas. Ini juga menimbulkan masalah tersendiri.
Maka untuk mewujudkan pengelolaan zakat yang ideal dalam kondisi sekarang ini perlu dimunculkan satu lembaga baru yang wujudnya sama seperti badan yang disebut dengan Komisi Negara Independen (independent regulatory agencies). Komisi negara ini penting dibentuk mengingat permasalahan zakat sangat mendesak untuk diselesaikan. Sama seperti komisi-komisi lain yang saat ini ada. Setidaknya sudah ada 13 komisi negara. Seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan lainnya.

Bentuk komisi negara yang ideal bagi zakat adalah Badan Pengelola Zakat (BPZ). BPZ agar dapat mewakili seluruh unsur masyarakat, maka perlu dimasukkan dari unsur ulama, kaum cendikia, tokoh masyarakat, tenaga profesional, dan wakil pemerintah. Sedangkan anggaran operasional BPZ dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sama seperti komisi negara lainnya.

Keberadaan BPZ memiliki struktur dari pusat sampai daerah. Struktur BPZ menyesuaikan diri dengan pembagian wilayah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah. BPZ terdiri dari BPZ Nasional, BPZ Propinsi dan BPZ Kabupaten/Kota.
Tugas BPZ adalah melaksanakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan. Atau dengan kata lain BPZ berfungsi sebagai regulator dan pengawas. BPZ membuat strategi penyaluran dan membagi wilayah penghimpunan secara nasional. Sementara tugas operator (pengumpul dan penyalur zakat) dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Lembaga Amil Zakat (LAZ) dapat diperankan oleh pemerintah maupun swasta. Sehingga dengan demikian keberadaan Badan Amil Zakat (baik yang sekarang ada di pusat sampai daerah) masih tetap ada. Begitu juga dengan keberadaan Lembaga Amil Zakat yang dibentuk swasta. Hanya saja untuk memudahkan penyebutannya, maka penulis usulkan namanya cukup satu saja yaitu Lembaga Amil Zakat. Dengan demikian tidak ada lagi nama Badan Amil Zakat.

LAZ adalah organisasi berbentuk badan hukum yang bertugas melakukan penerimaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. LAZ mendistribusikan dan mendayagunakan zakat yang terkumpul berpedoman kepada database yang disediakan BPZ. Sedangkan pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala perioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif sesuai dengan pedoman pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang ditetapkan BPZ Nasional.

BPZ harus menyediakan data base, baik mustahik maupun muzaki. Data base ini kemudian diserahkan kepada LAZ untuk dijadikan pegangan dalam mengumpulkan maupun mendistribusikan zakat.
Mengingat Lembaga Amil Zakat juga terkadang menghimpun harta-harta lain selain zakat, seperti infak, sedekah, hibah, wasiat dan kafarat maka BPZ akan memberikan ketentuannya secara jelas. Bagaimana peruntukan dan penggunaannya.

Perketat Syarat LAZ
Pembentukan Lembaga Amil Zakat harus dilakukan secara selektif. Tujuannya untuk menyeleksi mana lembaga yang layak menjadi LAZ dan mana yang tidak layak. Oleh karena itu syarat pendirian LAZ di semua tingkatan harus diperketat. Syarat LAZ sebagaimana yang disebutkan di dalam Kepmen No. 373 tahun 2003 perlu direvisi, terutama dalam hal pengumpulan dana.

Penulis mencoba mengklasifikan persyaratan LAZ terutama dalam hal penghimpunan dana sebagai berikut ; LAZ Nasional harus mampu mengumpulkan dana Rp 5 miliar, LAZ Provinsi harus mampu mengumpulkan dana Rp 2 miliar, LAZ Kab / Kota harus mampu mengumpulkan dana Rp 250 juta.

Dengan syarat ini maka akan terlihat mana LAZ yang layak berdiri dan mana yang tidak layak. Dan pengaturannya dilakukan oleh BPZ. Kinerja LAZ akan dinilai dan diawasi oleh BPZ. Jika kinerja LAZ tidak maksimal maka BPZ akan mengevaluasi bahkan sampai pada membubarkan LAZ.

Laporan Keuangan
Salah satu unsur penting dalam kinerja lembaga zakat adalah laporan keuangan. Laporan keuangan LAZ harus berbasis pada standar laporan keuangan/PSAK. Laporan tersebut meliputi; Laporan pelaksanaan tugas per tahun Lembaga Amil Zakat berupa laporan keuangan yang telah diaudit kantor akuntan publik dan disampaikan selambat-lambatnya setelah tahun buku berakhir, Laporan Keuangan sekurang-kurangnya terdiri atas Neraca (Laporan Posisi Keuangan), Laporan Perubahan Dana, Laporan Perubahan Aset Kelolaan, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan, Laporan Keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan.

Standarisasi laporan keuangan zakat sedang disusun oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) bekerjasama dengan FOZ (Forum Zakat). Saat ini sudah sampai tahap finalisasi. Dan tidak lama lagi akan selesai. Dengan selesainya PSAK maka semua laporan keuangan LAZ harus diaudit berdasarkan PSAK ini.
Hasil kinerja LAZ dilaporkan sesuai tingkatannya. LAZ Nasional melaporkan kinerjanya ke BPZ nasional, LAZ Propinsi kepada BPZ Provinsi, LAZ Kab / Kota kepada BPZ tingkat Kabupaten / Kota. Sedangan BPZ Nasional memberikan laporan kepada Presiden, BPZ Provinsi kepada BPZ Nasional dan BPZ Kabupaten / Kota kepada BPZ Provinsi.

Zakat Pengurang Pajak
Pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat melalui optimalisasi pengelolaan zakat sudah saatnya dilakukan. Mengingat zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PPKP) sebagaimana UU Nomor 38 Tahun 1999 dirasakan kurang berarti dalam mendorong para muzaki untuk menunaikan zakat, maka untuk lebih memotivasi dan meningkatkan pembayaran serta perolehan zakat, dalam undang-undang nanti harus dimasukkan zakat dijadikan sebagai pengurang pajak.
Muzaki yang membayar zakat di Lembaga Amil Zakat akan mendapat bukti setor zakat. Bukti ini dapat dilampirkan saat menyetor pajak dan dapat berfungsi sebagai pengurang pajak penghasilan.

Sementara mengenai sanksi juga sangat perlukan di dalam UU Zakat yang baru nanti. Sanksi bukan hanya diberikan kepada lembaga zakat yang melakukan pelanggaran pidana, tapi sanksi juga diberikan kepada muzaki yang lalai membayar zakat. Bagi muzaki yang lalai membayar zakat akan didenda paling banyak sebesar 5% (lima persen) dari kewajiban pembayaran zakatnya. Denda ini fungsinya sama seperti sanksi administrative dan muzaki tetap berkewajiban membayar zakat terhutang.

Penulis yakin dengan munculnya BPZ yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas maka keberadaan LAZ sebagai operator akan jelas posisinya. LAZ bekerja berdasarkan strategi plaining yang dibuat BPZ. Kinerja LAZ akan diawasi oleh BPZ. LAZ memberikan laporan kepada BPZ sedangkan BPZ bertanggungjawab kepada Presiden.
Laporan keuangan yang disusun, juga sudah mengacu pada standarisasi laporan keuangan yang baku. Sehingga akuntabilitas dan transparansi akan dapat dijamin. Sementara bagi muzaki, akan mendapatkan keuntungan ganda yakni zakatnya dibayarkan melalui lembaga yang akuntable dan dapat mengurangi pajak penghasilannya.

Di samping itu, peran serta masyarakat terutama dalam hal pengawasan, baik saat pengumpulan maupun penyaluran juga sangat diperlukan. Sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh syariat Islam. Wallahu a’alam

*Sekertaris Eksekutif Forum Zakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar