-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Rabu, 10 Desember 2008

Usulan dan Masukan Atas RUU Zakat

Berikut ini ringkasan masukan dan usulan yang disampaikan kepada Komisi VIII DPR RI pasca diterima konsep RUU Zakat versi DPR.

Tujuan Penyusunan RUU Zakat adalah ; pertama, meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat berdasarkan syariat Islam, kedua meningkatkan efektivitas pengelolaan zakat, baik dalam pengumpulan, pendistribusian, maupun pendayagunaan zakat ; ketiga, meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia.

Zakat merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan oleh setiap muzaki. Bagi muzaki yang lalai membayarkan zakatnya, maka didenda paling banyak 5% dari kewajiban pembayaran zakatnya dan tetap berkewajiban membayar zakat terhutang.

Sementara pemerintah wajib menjamin pelaksanaan pengelolaan zakat berdasarkan syariat Islam. Di samping itu ulama wajib meningkatkan kesadaran umat Islam agar melakukan pembayaran zakat melalui LAZ.

Permasalahan-permasalahan zakat di tanah air yang perlu diperbaiki dan perlu dimasukkan di dalam RUU Zakat yang baru :

Pertama, soal kelembagaan. Saat ini belum ada kejelasan fungsi siapa sebagai regulator, siapa sebagai pengawas dan siapa sebagai operator. Keberadan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), Laznas (Lembaga Amil Zakat Nasional), Laz (Lembaga Amil Zakat) dan Bazda (Badan Amil Zakat Daerah) semuanya ingin mengelola zakat. Sementara siapa yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas belum ada.

Kedua, belum adanya strategic plaining secara nasional, baik penghimpunan maupun pendayagunaan. Akibatnya masih terjadi irisan wilayah penghimpunan. Satu wilayah bisa menjadi sasaran penghimpunan bagi beberapa lembaga zakat. Hal ini juga menyebabkan pendistribusian zakat tidak merata.

Ketiga, soal mekanisme pelaporan. Sampai sekarang belum ada mekanisme pelaporan yang jelas bagi lembaga / badan amil zakat.

Keempat, soal hubungan zakat dengan pajak. UU No.38 disebutkan zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak (PPKP). Namun dalam prakteknya belum berjalan dengan baik. Padahal jika zakat dapat dijadikan pengurang pajak, atau minimal sebagai pengurang pajak penghasilan maka akan dapat memberikan dampak yang sangat baik dalam pemungutan zakat.

Kelima, mengenai sanksi. UU Pengelolaan Zakat yang ada baru mengatur sanksi bagi pengelola zakat. Padahal harusnya sanksi diberikan juga kepada muzakki. Tujuannya untuk mengingatkan terhadap kewajiban muzakki yang tertunda.



Struktur Organisasi

Indonesia dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menggunakan sistem sukarela. Model kelembagaan yang dianut adalah multi lembaga yang tidak memisahkan fungsi pengumpulan dan pendistribusian. Terdapat dua subyek pengelola zakat, yaitu pengelola zakat formal (pemerintah) dan non-formal (masyarakat). Lembaga formal pengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan. UU No 38 tahun 1999 juga memberikan kewenangan kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk melakukan pengelolaan zakat.

Untuk mewujudkan Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ) yang memenuhi kriteria yang ideal kita dapat mengambil presedennya dari badan yang disebut dengan “KOMISI NEGARA”.

Sesuai dengan definisi komisi negara independen di atas, saat ini telah ada 13 komisi negara independen (independent regulatory agencies) yang pembentukannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Komisi negara yang diusulkan di dalam RUU Zakat adalah Badan Pengelola Zakat (BPZ).

Struktur BPZ menyesuaikan diri dengan pembagian wilayah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah untuk mengoptimalisasikan peranannya, dengan beberapa penyesuaian dilihat berdasarkan prinsip administrasi zakat yang efisien, efektif dan ekonomis. BPZ terdiri dari BPZ Nasional , BPZ Propinsi dan BPZ Kabupaten/Kota.

BPZ Nasional merupakan Komisi Negara yang pembentukannya berdasarkan UU. Kemudian BPZ Propinsi dibentuk oleh BPZ Nasional, di mana BPZ Nasional juga memiliki kewenangan untuk menentukan wilayah operasional BPZ Propinsi. Dengan demikian sangat mungkin suatu BPZ Propinsi demi efisiensi sepanjang tugasnya dapat dilaksanakan secara efektif dapat mencakup lebih dari satu propinsi. Adapun BPZ Kabupaten/Kota didirikan oleh BPZ Propinsi dengan kewenangan menentukan wilayah BPZ Kabupaten/Kota.

Tugas BPZ adalah melaksanakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan ;



Pemerintah Bisa Mengelola Zakat


Pada prinsipnya, di dalam RUU Zakat, kesempatan mengelola zakat dapat dilakukan oleh masyarakat ataupun pemerintah. Dengan demikian tidak ada upaya saling meniadakan antara pemerintah maupun swasta. Pemerintah tetap bisa mengelola zakat, begitu juga swasta.

Hanya saja nomen klaturnya berubah. Jika di dalam UU PZ No. 38 tahun 1999 masih ada dua nama, yaitu Badan Amil Zakat (pemerintah) dan Lembaga Amil Zakat (swasta), dalam UU ini namanya berubah menjadi Lembaga Amil Zakat.

Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ adalah organisasi berbentuk badan hukum yang bertugas melakukan penerimaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

LAZ mendistribusikan dan mendayagunakan zakat yang terkumpul berpedoman kepada database BPZ. Sedangkan pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan atas skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif sesuai dengan pedoman pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang ditetapkan BPZ Nasional.



Syarat Menjadi LAZ Diperketat

Pembentukan Lembaga Amil Zakat harus dilakukan secara selektif. Tujuannya untuk menyeleksi mana lembaga yang layak menjadi LAZ dan mana yang tidak layak. Oleh karena itu syarat pendirian LAZ disemua tingkatan harus diperketat.

· Syarat Laz Nasional harus mampu mengumpulkan zis 5 miliar

· Syarat Laz Provinsi harus mampu mengumpulkan zis 2 miliar

· Syarat Laz Kab / kota harus mampu mengumpulkan zis 250 jt



Tambahan Pasal Tentang Laporan Keuangan

Salah satu unsur penting dalam kinerja lembaga zakat adalah laporan keuangan. Laporan keuangan LAZ harus berbasis standar laporan keuangan / PSAK.

(1) Laporan pelaksanaan tugas per tahun Lembaga Amil Zakat berupa laporan keuangan yang telah diaudit kantor akuntan publik dan disampaikan selambat-lambatnya setelah tahun buku berakhir.

(2) Laporan Keuangan sekurang-kurangnya terdiri atas Neraca (Laporan Posisi Keuangan), Laporan Perubahan Dana, Laporan Perubahan Aset Kelolaan, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.

(3) Laporan Keuangan disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan.



Masukan & Kritisi Pasal


1. Di dalam beberapa pasal masih terdapat tumpang tindih antara peran BPZ dan LAZ dalam penyaluran dan penghimpunan zis, terutama dalam hal penyediaan data base mustahik dan muzaki. Karenanya diusulkan agar ada penjelasan tentang pasal-pasal tersebut.

2. Di pasal 30 (tentang susunan organisasi dan tata kerja) dan Pasal 55-58 (tentang peruntukan harta selain zakat) perlu ada penjelasan lebih lanjut. Karena setelah diamati, pasal ini masih debatable.



Usulan dan masukan ini dibuat oleh pengurus FOZ setelah mendiskusikan pasal demi pasal di RUU Zakat. Usulan dan masukan ini masih sangat mungkin ditambahi, dikurangi dan dikritisi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar