-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Senin, 10 November 2008

Menjawab Krisis dengan Program

Herman Susilo*
Mana yang lebih banyak, orang miskin yang lari ke masjid atau yang menjadi pengemis, pelacur, perampok? Dalam kondisi tertekan, manusia memiliki pilihan-pilihan baik positif maupun negatif, namun kecenderungan yang diambil lebih banyak negatif karena keterpaksaan. Perangai seorang penganggur pasti berbeda dengan mereka yang bekerja. Seorang kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan berpotensi membawa konflik dalam keluarga yang dipimpinnya.


Yah, cita-cita membangun karakter bangsa terhambat oleh krisis ekonomi berkepanjangan. Jangankan menjadi bangsa religius, untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup saja susahnya ampun-ampun. Kefakiran dan kemiskinan yang mendera cenderung menjadikan orang bertindak jahat bahkan menjurus pada kufur. Segala cara didemonstrasikan orang fakir demi memenuhi hajat dasar hidupnya. Mungkin itulah kenapa Rasulullah SAW mengingatkan kita, “Kaadal faqru an yakuuna kufran.” Kefakiran itu mendekatkan seseorang pada kekufuran.

Jutawan Saja Merana
Dahulu, kata jutawan memiliki konotasi kaya raya. Tapi saat ini apakah konotasi itu masih berlaku?
Ambil contoh, seorang pegawai swasta di Jakarta yang berpenghasilan Rp 1.300.000 (terbilang: satu juta tiga ratus ribu rupiah) per bulan bisa disebut jutawan karena penghasilannya di atas Rp 1 juta per bulan. Apakah dia kaya raya? Tidak! Kenyataannya hidupnya masih penuh dengan keluhan. Untuk makan di warung tegal saja Rp 10.000 sekali makan. Bayangkan kalau dia punya istri dan dua anak, berarti harus punya 3 x Rp 40.000 per hari untuk makan.

Di samping itu dia juga harus bayar uang sekolah dan sewa rumah. Untuk sewa rumah sangat sederhana sekali sampai-sampai selonjor saja sulit (RSSSSSSSSS), rumah petak ukuran 20 meter persegi saja bisa mencapai Rp 350.000 per bulan, belum ongkos transportasi ke tempat kerja Rp 100.000 – 200.000.
Jadi tak ada lagi jutawan kaya raya saat ini. Karena makan saja harus dihemat, tinggal di rumah petak sederhana, anak tidak bisa sekolah di sekolah favorit (apalagi di universitas yang uang pangkalnya bisa mencapai puluhan juta rupiah). Dan kalau perlu istri pun harus bekerja untuk memperoleh tambahan penghasilan keluarga.
Nah, kalo jutawan saja merana, bagaimana pula dengan mereka yang tidak punya penghasilan? Orang-orang fakir dan miskin. Harap dicatat angka kemiskinan di negeri kita saat ini adalah 40 juta orang. Fantastis!

Kesejahteraan Semu
Ironinya ada sebagian pihak yang hanya bangga dengan naiknya GDP Indonesia. Menurut catatan statistik ekonomi Indonesia Gross Domestic Product (GDP) antara tahun 2000 sampai 2006 tumbuh sekitar 3% - 7% per tahunnya dari US$ 880 per kapita menjadi US$ 1.490 (US$ 1 = Rp 9.150). Kalau dihitung dengan US$ selama 6 tahun GDP per kapita Indonesia naik 69%!!!

Itu hanyalah catatan, namun apakah hal itu menjadikan Indonesia lebih sejahtera? Mengapa justru makin banyak orang sengsara? Beban hidup semakin berat, hingga perlu ada pembagian beras miskin (raskin) dan operasi pasar? Harga bahan pokok dan non-pokok naik berlipat ganda walapun tingkat inflasi (katanya) hanya sekitar 5% (tetapi pernah 17% sekali dalam kurun waktu 5 tahun itu). Dalam 5 tahun belakangan ini harga beras sudah naik dua kali lipat. Begitu pula jagung, gula, minyak goreng, minyak tanah, coklat, kedele, ikan asin dan sederet lagi.

Kalau tolok ukurnya diganti dengan emas maka GDP per kapita tahun 2000 adalah 99 gram emas, sedangkan tahun 2006 turun menjadi 71 gram emas. Emas naik dari Rp 100.000 per gram di tahun 2000 menjadi Rp 200.000 per gram di tahun 2007. Dalam ukuran emas, GDP per kapita Indonesia turun 29%! Kalau kita percaya bahwa emas mempunyai korelasi dengan harga barang maka wajar kalau kualitas hidup, kualitas kemakmuran turun 29%. Kesejahteraan yang semu!

Jawablah (Sebagiannya) dengan Program
Lalu, apa yang harus dilakukan? Ini adalah PR pemerintah. Krisis ekonomi yang menciptakan kemiskinan disebabkan oleh sistem, dan hanya bisa diselesaikan dengan sistem pula. Bukan sistem yang hanya melindungi para pemilik modal dan meniadakan orang-orang yang tak memilikinya. Menyuntik dana besar-besaran di sektor finansial dan menyepelekan sektor riil. Bukan pula sistem yang hanya menghimpun dana masyarakat untuk sebesar-besar belanja rutin dan pegawai saja, jika ada sisanya barulah dibuat program untuk orang miskin. Bukan, bukan itu! Tetapi ia adalah sistem yang mampu menyerap kelebihan harta sebagian orang untuk orang lain yang kurang beruntung (baca: pemerataan).

Sejatinya itulah di antara peran zakat! Dimensi zakat bukan hanya menghimpun dan menyalurkan saja. Namun ada pesan kuat untuk pemerataan kesejahteraan. Sistem zakat tidak membiarkan kesejahteraan terjadi hanya pada orang-orang kaya saja. Tetapi dirasakan pula oleh orang-orang miskin yang kurang beruntung. Sederhanya, jika si miskin berdaya dan keluar dari kemiskinannya maka daya belinya meningkat, jika demikian roda perekonomian akan bergairah.
Untuk itu kita (para amilin zakat) tidak boleh diam berpangku tangan sambil menunggu sistem itu datang dari langit. Tidak, tidak demikian. Kitalah yang memulainya. Membuat derivat-derivat program yang mampu memberdayakan si miskin. Memberikan penyadaran terus menerus kepada orang-orang kaya untuk turut berkontribusi dalam sistem yang baik ini.

Kita meyakini bahwa zakat bukanlah pil ajaib yang akan mampu menyelesaikan berbagai problema masyarakat. Ia hanyalah bagian dari sistem Islam yang salah satu prinsipnya adalah keadilan.

Meski demikian, kita bersyukur bahwa sebagian besar program-program yang kita buat telah mengentas para mustahik menjadi muzakki. Menyelamatkan ribuan anak yang rawan putus sekolah. Mengobati ribuan warga miskin yang tak mampu berobat. Memberdayakan petani, nelayan, pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional, para guru di pelosok desa terpencil yang mengajar dengan penuh kesungguhan di tengah himpitan ekonomi berkepanjangan, dan berbagai program kreatif kita yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat miskin.

Memang kontribusi itu masih secuil dibanding krisis ini, tapi setidaknya kita telah berhasil menunjukkan tata kelola organisasi yang baik. Menghimpun dana (zakat, infak, sedekah) masyarakat, mengelolanya, dan menyalurkannya melalui berbagai program inovatif.

Itu semua dilakukan bukan untuk sebesar-besar keuntungan pribadi ataupun organisasi melainkan untuk sebesar-besar maslahat umat. Untuk pemerataan kesejahteraan dan membumikan keadilan. Karena Al Quran telah menyebutkannya 14 abad yang lampau. “Likailaa yakuuna duulatan bainal aghniyaa’i minkum (agar harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya di antara kamu saja).” (QS. Al Hasyr : 7). Wallahu a’lam

*) Pemimpin Redaksi Majalah inFOZ+

Tidak ada komentar:

Posting Komentar