Lembaga zakat adalah lembaga yang berada dalam domain publik sehingga dituntut memiliki transparansi dan akuntabiltas. Meski sudah ada PSAK Nomor 109 tetapi masih banyak celah yang mesti segera diselesaikan dengan fatwa yang komprehensif
Jika kita meyakini bahwa zakat harus bisa mengentaskan seseorang dari kemiskinan, maka tentu cara berfikirnya tidak sekadar memberi lantas orang tersebut ditinggal begitu saja. Mesti ada proses pembinaan yang berkelanjutan. Ini menjadi hal yang sangat penting. Di lain sisi, banyak orang yang hingga kini belum mau mengeluarkan zakat dengan berbagai macam alasan antara lain ; pertama, upaya marketing dari amil zakat masih sangat kurang maksimal. Kedua, masih banyak muzakki yang masih mempertanyakan tentang integritas dan akuntabilitas dari lembaga pengelola zakat. Hal ini bisa saja terjadi akibat kurangnya komunikasi antara pengelola zakat dengan para muzakki. Menurut penjelasan Ketua (DSAK IAI) Dewan Standarisasi Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia, M. Jusuf Wibisana, pada titik inilah ilmu akuntansi sangat dibutuhkan sehingga memberikan pengaturan tentang bagaimana pengelolaan lembaga zakat harus membuat laporan secara baik supaya akuntabilitasnya bisa dibaca dengan baik dan seluruh kegiatannya transparan.
Dalam pembukaan surat At-Taubah ayat 103 menyatakan “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka….,”. Potongan Ayat ini memberikan spirit kepada amil agar mampu mengelola zakat selain amanah juga harus profesional dan meyakinkan untuk menjemput bola, mengidentifikasi muzakki. Selain itu lembaga ini seharusnya memiliki empowered by governance, semacam kekuatan yang mampu ‘memaksa’ (legal standing) yang muncul dari sebuah peraturan yang mengikat semacam perundangan, tidak hanya mengharapkan belas kasihan dari para muzakki.
Pada titik inilah peran amil harus dianggap sebagai sebuah pilihan profesional yang harus disertai niat lillahi ta’ala. Sehingga seorang amil mesti yakin bahwa langkah diambil sebagai jalan hidup. Alih-alih semua kegiatan yang dilakukan dapat menghidupi keluarga juga bisa melaksanakan syari’ah, membantu para muzakki dan fakir miskin. “Jadi amil tidak bisa menjadi kerja sampingan. Maka amil berhak mendapatkan zakat,” tegas Jusuf. Sebaliknya kalau amil dianggap hanya sebagai kerja sampingan, maka pengelolaan zakat tidak akan pernah bisa berkembang. Di sini negara harus menciptakan ruang gerak dan aturan demi mendorong terciptanya profesionalisme organisasi amil zakat, infaq dan shadaqah.
Dari sisi tugas dan tanggung jawab yang diemban amil memiliki dua pemahaman. Pertama, amil hanya sebagai agen yang fungsinya utamanya hanya menerima dan menyalurkan zakat sesuai yang diminta oleh muzakki, sistem dan peraturan yang ada. Kedua, amil sebagai pengelola zakat. Kalau pengelola, maka dia harus aktif, menjemput bola dan mengembangkannya. Jadi amil itu menghimpun, mengelola dan menginvestasikannya untuk para mustahik. “Definisi pertama relatif pasif, sedang yang kedua menuntut sikap pro aktif,” ia menambahkan.
Pentingnya Akuntabilitas dan Transparansi
Dalam penutup surat At-Taubah dinyatakan bahwa, “…Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Dan Maha Mengetahui,” pernyataan ayat tersebut hendak menegaskan bahwa dalam mengelola zakat harus memiliki akuntabilitas dan transparansi. Artinya, semua proses di atas harus benar-benar dilakukan secara bertanggung jawab. Allah akan mendengar keluhan para mustahik yang seharusnya menerima bagian, tapi tidak menerimanya. Allah juga mendengar keluhan para muzakki yang telah menitipkan hartanya untuk disalurkan kepada para mustahik tapi belum disalurkan. Karena itu, menjadi penting bagi lembaga pengelola zakat untuk bisa menyusun laporan keuangan yang baik dan transparan.
Terkait dengan usaha mengejewantahkan transparansi dan model pelaporan akuntabilitas amil belakangan ini telah disusun sistem pelaporan standar akuntansi keuangan yang didasarkan pada fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jadi standar akuntansi keuangan syari’ah itu murni disusun berdasarkan fatwa. Dari sanalah akhirnya konsep tersebut diterjemahkan menjadi standar pelaporan yang disebut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang kini masih dalam bentuk Eksposur Draft PSAK Nomor 109.
Meski demikian munculnya fatwa dari DSN tersebut masih saja menyisakan kerumitan. “Faktor inilah yang menurut para akuntan belum bisa memfinalkan serta merampungkan standar akuntansi untuk zakat,” ujar Jusuf yang juga terlibat aktif dalam penyusunan PSAK Zakat. Misalnya saja tentang sumber biaya penghimpunan zakat. Kalau misalnya lembaga pengelola zakat harus melakukan perjalanan untuk menjemput zakat, memasang iklan di media massa baik cetak, online, maupun elektronik, atau dana marketing guna transportasi itu diambilkan dari mana? Apakah diambilkan dari hak amil ataukah diambilkan dari dana zakat sebelum dibagi-bagi? Lantas zakat muqoyyadah di mana muzakki telah menentukan mustahiknya, di mana peran amil? Karena di sini amil tidak perlu aktif maupun proaktif. Dengan begitu bolehkah amil mengambil sebagian dari dana itu untuk dana operasional? Hal semacam ini tentu menjadi masalah. Karena itu, zakat muqoyyadah seperti yang paling aman menggunakan sistem ujroh (ongkos/imbalan tertentu). “Peristiwa ini membutuhkan adanya fatwa,” tegas Jusuf.
Selain kendala di atas muncul pula rintangan-rintangan lain yang cukup rumit semisal apakah penyaluran zakat itu langsung berupa maal, aset atau uang yang bisa diambil lantas diberikan kepada mustahik? Bisakah dana zakat yang diterima amil digunakan membangun poliklinik? Lantas bagaimana dengan gaji perawat dan dokter di poliklinik apakah bisa diambil dari dana zakat? Masalah semacam ini juga belum jelas fatwanya. Pasalnya, jika saja hal semacam ini diizinkan, maka pengelola zakat bisa saja membeli mobil operasional yang dananya diambilkan dari dana zakat untuk tujuan menjemput dan menyalurkan zakat. Kemudian apabila lembaga pengelola zakat itu memperoleh dana atau aset non halal akan digunakan untuk apa? Bentuk hukum pengelola zakat itu apa? apakah bisa individu yang menerima izin, ataukah yayasan ataukah dapat berupa perseroan terbatas (PT)? “Semua ini perlu penjelasan rigid karena mempunyai dampak terhadap laporan transparansi,” imbuhnya.
Hal-hal yang menyangkut sektor teknis di atas sejatinya hendak menegaskan bahwa tatkala sebuah lembaga mengatasnamakan dan menamakan diri sebagai OPZ maka lembaga tersebut secara otomatis akan dianggap sebagai badan publik, karena mengelola dana dari public maka harus dikembalikan pada domain publik. Sebagai badan publik ada banyak kewajiban yang mesti dilakukan berkaitan tansparansi dan akuntabilitas yaitu informasi mengenai laporan keuangan dan kegiatan harus disediakan secara berkala yang bisa diakses. Sehingga mesti ada konsekuensi biaya apa saja yang diambil dari zakat atau sumber yang lain. Dengan begitu semua informasi mesti disediakan serta merta setiap saat. Misalnya perjanjian dengan lembaga lain, rencana tahunan, rencana program. Jadi transparansi dan akuntabilitas menjadi suatu keharusan yang tak dapat ditawar. (mst)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar