-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Senin, 21 Desember 2009

Akuntabilitas Dana Bantuan Bencana

Oleh :
M. Sabeth Abilawa (Kepala Divisi Advokasi Dompet Dhuafa)

Negeri (rawan) bencana memang pantas disematkan untuk negara kita. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dalam kurun waktu 1997-2008 telah terjadi 1.994 kejadian banjir, 633 kali tanah longsor, 106 kali gempa bumi, 573 kali angin topan, dan 52 kali letusan gunung berapi.

Angka-angka tersebut belum termasuk bencana yang diakibatkan oleh human error seperti kebakaran permukiman, kebakaran hutan, kegagalan teknologi, teror dan sabotase.

Selama satu dasawarsa ini pula tercatat jumlah korban jiwa yang telah terenggut sebanyak 149.311 orang, dan total kerugian materi mencapai Rp 54,8 triliun.

Namun di balik angka-angka tersebut ada satu hal lagi yang cukup fenomenal di mana kita bisa menyaksikan betapa pemurah dan dermawannya bangsa ini terhadap sesamanya. Berawal dari bencana tsunami di Aceh, hampir semua komponen masyarakat secara intensif dan massif menunjukkan kepeduliannya. Besarnya skala bencana dan dampak yang ditimbulkan ditambah dengan liputan media yang luar biasa menggugah mata dunia untuk berpartisipasi.

Penggalangan dana bencana telah menjadi kegiatan baru di negeri ini baik yang sifatnya spontanitas maupun yang rutin sebagai fundraising lembaga.

Jika dipetakan, maka setidaknya ada empat pelaku yang terlibat dalam penggalangan dana bencana di Indonesia. Yang pertama adalah lembaga kemanusiaan yang memang secara core competence-nya bergerak di bidang penggalangan dana sosial. Dalam hal ini beberapa lembaga pengelola zakat bisa dikelompokkan dalam genre ini.

Kedua adalah media, baik cetak maupun elektronik yang semenjak bencana tsunami aceh ramai-ramai ikut menggalang dana masyarakat .

Pihak lain yang juga terlibat dalam penggalangan dana masyarakat adalah perusahaan-perusahaan swasta. Mereka biasanya berpromosi hanya di internal karyawan perusahaannya untuk terlibat berdonasi terhadap korban bencana.

Di luar tiga pihak yang telah disebutkan di atas, masih ada lagi aktor-aktor pelaku penggalangan dana masyarakat seperti partai politik, masjid, dan majelis ta’lim.

Data PIRAC menunjukkan bahwa total dana terhimpun oleh sejumlah media elektronik maupun cetak untuk sumbangan gempa sumbar per tanggal 13 Oktober telah mencapai Rp 67 miliar lebih. Sedangkan perolehan donasi gempa sumbar yang masuk melalui beberapa lembaga pengelola ZIS telah mencapai Rp 20 miliar lebih pada tanggal yang sama.

Memang Jika dibandingkan dengan hasil penggalangan dana untuk tsunami Aceh yang mencapai Rp 465,95 miliar (di luar dana-dana pemerintah) angka tersebut masih jauh di bawahnya. Namun rentang waktu dua minggu dalam penggalangan dana tersebut menunjukkan betapa efektifnya penggalangan dana publik terutama yang dilakukan oleh media elektronik.

Berbeda dengan lembaga kemanusiaan, media memiliki kekuatan yang lebih dalam penggalangan dana bencana disebabkan coverage-nya terhadap masyarakat serta liputan pemberitaan bencana yang bisa menggugah langsung kepedulian jutaan pemirsanya. TV One misalnya sebagai stasiun televisi relatif baru berhasil menjadi yang terdepan dalam pengumpulan sumbangan untuk gempa Sumbar ini.

Sampai dengan tanggal 16 Oktober, donasi yang dikumpulkan telah mencapai Rp 36 miliar mengungguli Metro TV. Suatu angka yang tampaknya susah dicapai oleh lembaga-lembaga kemanusiaan yang sehari-hari bergerak di bidang penggalangan dana sosial apalagi LSM-LSM lokal yang terjun langsung dalam tanggap darurat bencana.

Kunci sukses penggalangan dana media terletak pada penyajian berita secara up to date tentang bencana langsung dari tempat kejadian, sehingga pemirsa seolah diajak ikut serta merasakan penderitaan para korban. Rasa sedih kehilangan sanak keluarga, harta benda, dan bahkan sampai eksploitasi berlebihan terhadap kondisi korban berhasil dikomunikasikan dalam kemasan yang apik dan membuat siapapun yang melihatnya tergugah hingga muncul empati.

Di sinilah media kemudian menangkap peluang kepiluan kolektif tersebut menjadi program-program bertajuk peduli, pundi, dan kemanusiaan.

Sayangnya, gegap gempita dalam penggalangan dana masyarakat oleh berbagai pihak tersebut belum diikuti di sisi pertanggungjawabannya kepada publik. Salah satu faktor utamanya adalah karena sifat bencana itu sendiri yang merupakan kondisi extraordinary, sehingga seringkali program yang digulirkan berjalan di luar standar operasional prosedur yang ada dalam kondisi normal. Kondisi ini dialami oleh beberapa pemda yang daerahnya terkena bencana. Mereka kesulitan menyalurkan dana ke masyarakat secara cepat dengan mengikuti alur pakem yang ada seperti misalnya bukti penerimaan, dll. Tentu masalah-masalah administratif agak susah dijalankan secara optimal dalam kondisi tanggap darurat.

Namun kondisi tersebut tidak kemudian menghilangkan kewajiban lembaga-lembaga yang terlibat dalam penggalangan dana masyarakat tersebut memberikan pertanggungjawaban ke publik. Proses “serah terima” dari masyarakat kepada pihak yang dititipi amanah tersebut tidak lantas selesai seusai nama mereka tercantum dalam lembaran koran atau running text di televisi.
Setidaknya ada empat proses akuntabilitas yang harus dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam penggalangan dana di masyarakat. Proses pertama dimulai dari alur penerimaan dana tersebut. Di sini semua dana harus jelas aliran penerimaannya dari siapa dan berapa jumlahnya. Selain itu lembaga harus memastikan juga secara transparan bahwa publik bisa mengakses data-data tersebut untuk memastikan sumbangannya telah diterima dan sesuai jumlahnya. Untuk proses ini rasa-rasanya hampir sebagian besar lembaga penggalang dana masyarakat telah melakukannya dengan baik.

Selanjutnya ukuran yang kedua untuk menguji akuntabilitas sebuah lembaga adalah dari sisi penyaluran dana bantuan tersebut. Di sini lembaga penggalang dana dituntut untuk melaporkan kepada publik. Pelaporan tidak hanya direduksi sebatas laporan pengeluaran dana semata tapi juga kegiatan yang sudah dan yang akan dilakukan, apa saja program yang digulirkan lembaga dalam peridode tanggap darurat, rekonstruksi dan recovery dan di daerah mana saja program tersebut dijalankan serta yang tak kalah pentingnya berapa perkiraan jumlah penerima manfaatnya.

Tidak hanya itu, sebaiknya masyarakat juga bisa mengetahui berapa persen bantuan yang disalurkan langsung untuk penerima manfaat dan berapa alokasi untuk operasional (overhead). Hal ini penting diketahui untuk mengukur seberapa efektif dan efisien lembaga tersebut berkiprah. Semua proses ini bisa dilakukan melalui penyajian informasi kepada publik serta diuji validasinya melalui pernyatan hasil audit oleh akuntan publik.

Jika ditinjau secara konvensional dua proses tersebut rasa-rasanya sudah mencukupi untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas lembaga yang menggalang dana bantuan bencana. Dua hal tersebut sebenarnya baru standar minimal dimana beberapa lembaga sudah melakukannya. Namun dalam konteks dana bencana seharusnya perlu ditingkatkan derajat akuntabilitas nya pada dua tataran lagi. Yang pertama adalah pelibatan perwakilan donatur dalam memutuskan program apa yang akan digulirkan. Sebab selama ini lembaga penerima lebih sering secara sepihak memutuskan program-program yang paling pantas digulirkan tanpa keterlibatan elemen donatur.

Ukurannya jelas, yaitu kepuasan donatur atas kinerja dan program-program yang digulirkan oleh lembaga tersebut di daerah bencana yang jarang sekali diukur baik oleh lembaga itu sendiri maupun pihak ketiga.

Namun di sisi ini muncul problem, di mana karakter donatur di Indonesia yang tidak kritis menyebabkan tuntutan pemenuhan pertanggungjawaban publik tersebut juga sulit tercapai. Ketidakritisan atau lebih tepatnya kepercayaan penuh di sisi donatur bisa dilihat dari masih besarnya penyumbang yang tidak mencantumkan nama ketika memberikannya. Dengan alasan teologis mereka seringkali memakai anonim atau sebutan hamba Allah. Sehingga kita bisa melihat deretan banyaknya hamba Allah dalam daftar penyumbang.

Memang tidak ada salahnya, namun alangkah baiknya jika dua hal ini bisa dijembatani agar tidak menafikan kewajiban lembaga dalam mengakomodasi partisipasi para pemangku kepentingan. Harus dijelaskan juga kepada masyarakat bahwa urusan keikhlasan janganlah menimbulkan kesulitan bagi pihak lain untuk membangun sistem yang transparan dan akuntabel. Tak salah ada yang berseloroh, bahwa rentetan bencana ini memunculkan banyak sekali “malaikat-malaikat” baik hati di negeri ini, namun jangan sampai pula kemunculannya justru diikuti oleh terbukanya pintu-pintu manipulasi di sisi sebaliknya yang tergoda memanfaatkan kebaikan tersebut.

Yang kedua adalah dari sisi penerima manfaat (beneficiaries) atau korban bencana. Di sisi ini lembaga perlu membuat kajian yang mendalam atas dampak bantuan yang telah disalurkan. Kaji dampak ini bisa dilakukan secara reguler dan dilinformasikan kepada publik.

Untuk lebih meningkatkan akuntabilitas dana bantuan bencana kiranya tidak berlebihan apabila dibutuhkan pihak ketiga yang bisa membantu memastikan kualitas akuntabilitas tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi donatur dan penerima manfaat dalam hal ini korban bencana agar hak-haknya terpenuhi. Tidak salah rasanya jika pemerintah pusat membentuk sebuah lembaga khusus yang berperan sebagai regulator dan pengawas untuk memastikan bahwa dana-dana bantuan tersebut terdistribusikan dengan baik dan tepat sasaran.

Sebagai regulator pemerintah bisa saja memberikan sanksi terhadap lembaga yang dinilai tidak kredibel dalam mengelola dana-dana tersebut. Tapi harus juga dipastikan komitmen dan konsistensinya ketika peran regulator tersebut diambil maka pemerintah juga harus rela untuk tidak terjun langsung dalam penggalangan dana bantuan masyarakat. Karena tidak mungkin wasit memberikan kartu merah pada dirinya sendiri.

Selanjutnya, dari sisi civil society juga diperlukan lembaga pemeringkat independen yang bertugas menyusun peringkat kredibilitas lembaga-lembaga penggalang dana bantuan bencana masyarakat. Lembaga ini nantinya akan menjadi rujukan donatur dalam menyalurkan bantuannya. Sebagaimana fungsi lembaga rating atas beberapa instrument investasi, dia hanya sekedar memberi informasi kepada masyarakat luas dan menunjukkan bahwa mana-mana lembaga yang kredibel dan mana yang kurang terpercaya berdasarkan metodologi yang akurat.
Picture by http://www.bi.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar