-->

FOZ adalah Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia berfungsi sebagai wadah berhimpunnya BAZ dan LAZ di Indonesia. berdiri pada hari Jumuat Tanggal 19 Sep 1997
Hadiri dan Ramaikan World Zakat Forum Days 2010 di Yogyakarta 28th September - 2nd Oktober klik di sini

Senin, 21 Desember 2009

Desentralisasi Zakat Punya Akar Sejarah Panjang

Dr. Amelia Fauzia
Direktur CSRC UIN Jakarta

Dalam sejarah ke-Islaman, banyak fakta-fakta penting yang mesti di-review untuk dijadikan acuan dalam rumusan revisi UUPZ (Undang-undang Pengelolaan Zakat). Sebab kesan upaya pemerintah untuk melakukan sentralisasi tidak bisa dinafikan begitu saja. Pemikiran pengelolaan zakat versi pemerintah sejauh ini lebih berpijak pada pemahaman sejarah ketika Abu Bakar menjadi Khalifah yang terkenal dengan perjuangannya memerangi golongan yang enggan membayar zakat. Pemahaman ini amat keliru karena golongan tersebut bukan menolak membayar zakat tetapi lebih pada adanya resistensi penolakan terhadap kepemimpinan politik Abu Bakar sebagai Khalifah pasca wafatnya Rasulullah SAW.

Buktinya khalifah sesudah Abu Bakar tidak lagi menggunakan cara-cara tersebut. Seperti, ketika Umar bin Khattab memimpin, dia membebaskan tawanan yang dibui oleh Abu Bakar bahkan harta benda yang dirampas juga dikembalikan. Karena zakat adalah ekspresi dan kewajiban individu kepada Tuhannya. Di zaman Utsman bin Affan karena banyak sekali harta yang diperolah dari rampasan perang dia mempersilahkan kaum muslim menunaikan zakatnya baik lewat lembaga pemerintah (ulil amri) atau langsung kepada mustahik. Hal itu bisa dilacak dalam kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf, yakni kitab Al Amwal .

Periode berikutnya, seperti masa ulama madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafii dan Imam Ibnu Hambal menganjurkan untuk menyalurkan zakat lewat pemerintah. Namun anjuran ini dengan catatan, bahwa pemerintahan mereka harus adil. Berikutnya, dalam sejarah keemasan Harun Al-Rasyid dari Daulah Abbasyiah, penyaluran zakat ada yang diberikan kepada pemerintah ada pula yang langsung kepada masyarakat. Ini artinya, kata Amelia, sentralisasi dan desentralisasi zakat sama-sama memiliki akar yang sangat kuat dalam tradisi dan sejarah ummat Islam.

“Saat ini setidaknya ada enam negara yang mayoritas berpenduduk muslim di dunia, yang mengelola zakat dengan cara sentralisasi yaitu Arab Saudi, Sudan, Libya, Yaman, Pakistan, dan Malaysia tetapi ketika kami coba terjun melakukan penelitian lapangan ke negara tersebut banyak masyarakat yang merasa pengeloaan zakat yang dilakukan pemerintah kurang baik,” ujarnya saat mempresentasikan makalahnya di sebuah Seminar di Jakarta. Negera-negara tersebut, kata dia, ternyata hingga kini juga tidak bisa melakukan transformasi terhadap masyarakat yang menjadi objek zakat. Yang terjadi hanya pencitraan secara simbolik.
Di Indonesia sendiri, ide sentralisasi zakat sudah digaungkan sejak masa awal orde baru ketika Presiden Soeharto menyampaikan pidato tahun 1968. Malah Presiden Soeharto sendiri siap menjadi amil yang saat itu dibantu oleh beberapa tokoh Islam. Salah satunya Alamsyah Ratu Prawiranegara. Namun dari upaya yang dilakukan tersebut, ternyata, laporan yang dilansir pada tahun 1970 tidak banyak dana zakat yang bisa dihimpun. Jumlahnya hanya Rp 39, 5 juta. Ini artinya secara tidak langsung sebetulnya masyarakat kurang begitu baik dalam merespon upaya pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah.

Dalam upaya revisi UUPZ yang kini dilontarkan oleh pemerintah memang secara tidak langsung menghapus LAZ tetapi didorong untuk melebur dengan BAZ dan mengamputasi peran LAZ menjadi UPZ. Menurut Amelia, peleburan ini tidak akan menuai hasil apa-apa karena antara LAZ dan BAZ memiliki garis ideologi yang amat kontras. Penelitian di berbagai negara seperti United Kingdom (UK) menyebutkan jika lembaga filantropi hendak melebur, terutama dengan lembaga pemerintah, maka harus memiliki basis dan resources yang sama. Faktor akuntabilitas lembaga juga tak kalah problematis, kata Amel, panggilan akrab Amelia Fauzia. “Kami coba meneliti di 30 lembaga filantropi Islam yang punya reputasi cukup baik, setelah dilakukan ranking, BAZNAS ternyata menempati posisi ketujuh di bawah enam LAZ lainnya,” kata Doktor lulusan Australia ini menyebutkan.

Upaya peleburan atau perubahan LAZ menjadi UPZ bisa berdampak mengikis peran LAZ bahkan menghilangkan LAZ dari peta ‘pamain’ zakat . Sebab kerja BAZ selama ini ditopang dengan menggunakan logika birokrasi pemerintah. Dengan upaya peleburan ini, jelas-jelas, umat muslim di Indonesia akan sangat dirugikan sebab eksistensi mereka sudah melekat di tengah masyarakat.

Argumentasi dari Depag yang melandaskan basis pemikiran pada surat At-Taubah ayat 103 juga tidak sepenuhnya tepat. Karena kata ‘ambillah’ (khudz) bukan berarti secara serta merta memberikan cek kosong kepada pemerintah untuk melakukan pengelolaan atau mewajibkan masyarakat memberikan dana zakatnya kepada lembaga pemerintah. Oleh karena itu, semestinya pemerintah menganggap keberadaan LAZ sebagai aset penting dan sebagai mitra. Pemerintah seharusnya lebih realistis menyikapi perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menulis, zakat adalah ekspresi kewajiban individu kepada Tuhannya, bukan karena kewajiban kepada negara. [m/n]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar