Secara Teknis Tak Masalah, Tapi Menunggu Fatwa.
Silang pendapat mengenai boleh tidaknya pembelian suatu aset dengan dana zakat tentu saja berdampak pada berbagai hal. Salah satunya adalah pada cara pembukuan laporan keuangan. Hal itu terjadi pada pengakuan aset yang dibeli dengan dana zakat. Saat ini, terdapat sebagian lembaga amil zakat yang mencatat pembelian suatu fasilitas atau barang sebagai asetnya. Sedangkan, sebagian lainnya tidak mencatat fasilitas yang dibeli sebagai aset lembaga amil zakat.
Perbedaan pencatatan tersebut perlu segera diluruskan. Hal itu karena cara pembukuan laporan keuangan atau neraca lembaga amil haruslah terstandardisasi dan sama. Alasannya, laporan keuangan merupakan salah satu acuan bagi berbagai pihak dalam mengetahui performa suatu lembaga. Karena itu, cara pencatatan laporan keuangan penting terstandardisasi agar lebih memudahkan.
Menurut Direktur Teknik Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Sriyanto, saat ini pembahasan pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) zakat terus dilakukan. Bahkan, sebetulnya pembahasan itu telah rampung pada tahapan dengar pendapat (public hearing) atas naskah eksposur (exposure draft) PSAK zakat. Naskah itu merupakan hasil pengkajian bersama tim gabungan atas rancangan PSAK Zakat.
Rancangan itu kemudian dibahas oleh Komite Akuntansi Syariah (KAS). Selanjutnya, rancangan itu dikaji oleh dewan standar akuntansi keuangan (DSAK) IAI untuk dijadikan naskah eksposur. Tim gabungan diantaranya terdiri dari wakil asosiasi lembaga amil zakat Forum Zakat, praktisi zakat, akademisi, dan IAI.
Mengenai diakui atau tidaknya fasilitas yang dibeli dari dana zakat, menurut Sriyanto, hal itu yang kini tengah dibahas tim gabungan. Hal itu karena tim saat ini tengah menunggu fatwa dari Majelis Ulama Indonesia terkait hal itu. Sebabnya, diakui atau tidaknya fasilitas sebetulnya sangat bergantung pada aspek fiqh atas transaksi itu. ''Dari sisi akuntansi secara teknis tidak ada masalah asalkan ada kejelasan mana yang boleh dilakukan karena kita hanya mencatat. Justru saat ini kita masih menunggu dari MUI apakah dari aspek fiqh diperbolehkan atau tidak membeli aset dari dana zakat,'' katanya kepada Infoz, Senin, (3/11).
Mengajukan Fatwa
Menurut Sriyanto, tim gabungan sebetulnya awalnya berencana mengajukan permohonan fatwa kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Namun, hal itu urung dilakukan karena lembaga itu menyatakan perlu ada otoritas fatwa lebih tinggi yang membahas boleh tidaknya dana zakat digunakan untuk membeli aset. Karena itu, permohonan fatwa atas transaksi itu kemudian diajukan kepada komisi fatwa MUI.
Pengajuan permohonan fatwa itu dilakukan untuk memastikan kejelasan boleh tidaknya transaksi pembelian aset dengan dana zakat. Hal itu penting dilakukan karena apa pun fatwanya akan berdampak pada cara pencatatan pembelian aset dalam laporan keuangan. Terlebih, terdapat sebagian praktisi zakat yang tidak setuju dengan pendapat sementara tim mengenai boleh tidaknya transaksi. ''Saat hearing, kita sebetulnya mengusulkan untuk membatasi dalam ketentuan PSAK bahwa dana zakat sebaiknya langsung didistribusikan kepada mustahik. Masalah dana itu akan dibelikan aset oleh mustahik itu terserah,'' katanya.
Dalam dengar pendapat itu, tim gabungan juga mengusulkan lembaga amil zakat lebih baik menggunakan sumber dana sosial lain selain zakat untuk membeli aset. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan dana infaq dan sedekah. Namun, sejumlah usulan itu kurang mendapat respon positif dari sebagian lembaga amil zakat. ''Usulan kami seperti ini memang agar pengelolaan dana zakat lebih aman dan lebih bisa dipertanggungjawabkan. Namun, ada teman-teman yang kurang puas bila dana zakat hanya bisa disalurkan secara langsung,'' kata Sriyanto.
Menurut Sriyanto, bila memang fatwa yang nanti diterbitkan MUI memperbolehkan penggunaan dana zakat untuk membeli aset, maka cara pencatatan laporan keuangan disesuaikan. Salah satunya busa dilakukan dengan mencatat pembelian suatu barang menjadi aset lembaga amil. ''Bisa saja dicatat sebagai aset bila memang diperkenankan fatwa,'' katanya.
Sementara, mengenai depresiasi aset, terdapat beberapa metode yang mungkin diterapkan. Salah satunya adalah dengan memperhitungkan kemungkinan berapa lama suatu aset bisa digunakan. Selanjutnya, nilai aset dibagi dengan prediksi jangka waktu penggunaan. Dengan demikian, nilai zakat disalurkan per tahun adalah nilai depresiasi tahunan suatu aset. ''Namun, metode ini tidak harus dipakai karena metode depresiasi itu tidak hanya waktu dan garis lurus,'' ujarnya.
Metode pencatatan lain yang bisa digunakan adalah dengan memperhitungkan manfaat yang bisa diberikan kepada mustahik. Karena itu, penghitungan nilai zakat disalurkan didasarkan pada seberapa manfaat aset yang sudah terpakai. ''Meski demikian, kita akan terus mengkaji metode depresiasi mana yang paling mencerminkan pola pemanfaatan aset sebenarnya. Kita akan memilih metode yang paling dekat karena akuntansi akan lebih mature bila semakin mencerminkan kondisi sebenarnya,'' katanya. bai
Selasa, 11 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar