Lambatnya pengesahan PSAK Zakat 109 disebabkan masih adanya beberapa hal penting yang belum disepakati. Beberapa hal peting tersebut meliputi ; pertama, penerima dan penerimaan zakat, kedua, penyaluran zakat, ketiga, dana non halal.
Tiga hal penting inilah yang masih perlu didiskusikan lebih lanjut, baik oleh KAS (Komite Akuntansi Syariah) maupun oleh DSAK (Dewan Standard Akuntansi Keuangan).
Dalam rangka itulah Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bersama dengan MUI, pengawas syariah lembaga zakat dan praktisi zakat pada 10 September 2008 di Hotel Acacia Jl. Kramat Jakarta mengadakan diskusi intensif mengenai tiga hal tersebut.
Hadir pada kesempatan itu, Endi M Astiwara (DSN MUI), Arif Mahfud (Bapepam), Hasanuddin (MUI), Cecep Maskanul Hakim (DSN), Amin Musa (AASI), Wiroso (KAP), Adiwarman A Karim (Pengawas Syariah LAZ APU), Setiawan Budi Utomo, M.Jusuf Wibisana (DSAK), pengurus FOZ dan beberapa praktisi lembaga zakat.
Pembahasan pertama mengenai siapa yang dimaksud penerima zakat, apakah yayasan, atau lembaga yang melayani mustahik dapat menerima zakat ? Apakah biaya iklan, baik iklan pengumpulan maupun iklan penyaluran diambilkan dari dana amil atau dari pos selain amil ?
Sedangkan pembahasan kedua adalah seputar penyaluran zakat ; meliputi, Apa yang dimaksud penyaluran zakat? Apakah diperkenankan penyaluran zakat dalam bentuk aset kelolaan? Apakah pengoperasian aset kelolaan dilakukan oleh LAZ (dananya berasal dari zakat atau infak/sedekah) atau oleh pihak lain? Besaran penyaluran zakat: apakah seluruh biaya yang timbul dari aktivitas penyaluran zakat atau hanya direct benefit yang diterima mustahiq?
Materi pembahasan ketiga mengenai dana non halal. Bagaimana perolehan dana non halal ? dan bagaimana penggunaan dana non halal ?
Diskusi yang berlangsung selama 2 jam itu sepakat bahwa point-point sebagaimana disebutkan di atas, hampir semuanya masuk pada wilayah fikih. Karena masuk wilayah fikih, maka sangat sulit untuk mencapai kata mufakat. Akhirnya disepakati agar ada satu pendapat yang dijadikan pedoman, maka perlu dimintakan fatwa kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Termasuk yang akan dimintakan fatwa kepada MUI adalah definisi fi sabilillah, sebab selama ini definisi fi sabilillah itu dirasa sangat longgar. Kalau tidak dimintakan fatwa kepada MUI bisa jadi semua mustahik zakat masuk dalam kategori fi sabilillah. Padahal dibedakannya beberapa jenis mustahik (yang jumlahnya ada 8 golongan), pasti ada batasan-batasannya.
Sedangkan mengenai istilah dana non halal, semua sepakat untuk dirubah. Sebab istilah ini dirasa tidak mencerminkan misi syariah. Meskipun istilah dana non halal ini sudah ada sejak lama dan masuk di dalam dunia perbankan. Namun, agar tidak terjadi salah pengertian di dalam lingkup zakat, infak dan sedekah, maka istilah dana non halal diganti dengan dana untuk kepentingan umum.
Alasan lain kenapa dirubah menjadi dana untuk kepentingan umum, karena pada prinsipnya dana tersebut dapat digunakan (bukan non halal dalam arti haram dan tidak bisa digunakan). Dana non halal yang dimaksudkan di sini adalah dana yang diperoleh dari bank konvensional dimana tidak menjadi suatu kesengajaan untuk disimpan melainkan sebuah fasilitas yang disediakan bagi muzaki untuk mempermudah melakukan transaksi. naf
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar